PEMODELAN
VOLUME JATAH
TEBANG PADA AKHIR DAUR
Kelompok 1:
Reinaldhi Andriano
Saputra E14130004
Lio Ade Putra E14130006
Siti Mutmaina E14130008
Purwanto E14130010
Deas
Efpri Anggoro E14130011
Windy Swinary
Sinaga E14130013
Jutoto Ibram Zaen E14130015
Intan Kemala E14130018
Nurul Hofiah E14130019
Maria Ulfah E14130020
Dosen:
Dr. Ir. Budi
Kuncahyo, MS
DIVISI PERENCANAAN
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2016
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Indonesia yang terletak di wilayah tropika memiliki
hutan hujan tropis yang kaya akan sumberdaya alamnya. Indonesia memiliki luas
hutan terbesar ketiga di dunia (setelah Brasil dan Kongo). Riap hutan alam
Indonesia yang semakin menurun dan tidak seimbang dengan laju pemanenan dan
kebutuhan kayu, mendorong meningkatnya laju deforestasi dan degradasi lahan
hutan Indonesia. Tercatat 1,8 juta sampai dengan 2,8 juta hektar per tahun,
hutan Indonesia terdegradasi dan secara global 1,3 juta hektar per
tahun hutan dunia terdeforestasi (FAO 2005).
Dalam rangka rehabilitasi hutan, perbaikan lingkungan,
dan peningkatan produksi kayu, pemerintah telah menetapkan kebijaksanaan dan
mendorong pembangunan hutan tanaman. Pembangunan hutan tanaman penting untuk
dilaksanakan (Samsudi 1990) dengan pertimbangan: adanya hutan tanaman dapat
diharapkan peningkatan produktivitas lahan; masih luasnya tanah-tanah kosong,
belukar, padang alang-alang yang tidak produktif dan tidak cocok untuk
pertanian tetapi cocok untuk tanaman kehutanan; jenis pohon tertentu dapat
ditanam dengan teknik tertentu dan dapat menghasilkan produksi dan manfaat yang
lebih tinggi bagi masyarakat dan negara.
Model adalah abstraksi atau penyederhanaan dunia
nyata, yang menggambarkan struktur dan interaksi elemen serta perilaku
keseluruhan sesuai sudut pandang dan tujuan yang diinginkan. Pemodelan sistem
adalah sebuah pengetahuan dan seni. Sebuah pengetahuan karena ada logika yang
dibangun dengan urutan yang sesuai. Sebuah seni karena pemodelan mencakup
bagaimana menuangkan persepsi manusia atas dunia nyata dengan segala
keunikannya (Purnomo 2012). Pertumbuhan (growth)
merupakan tulang punggung ilmu pengelolaan hutan, yang bertujuan untuk
menghasilkan kayu. Tanpa informasi tentang pertumbuhan, suatu rencana
pengelolaan hutan tidak lebih dari sekedar petunjuk menghadapi
pekerjaan-pekerjaan di lapangan, dan bukan suatu rencana yang harus
dilaksanakan untuk mencapai suatu pengelolaan.
Pemodelan dalam pengaturan hasil yang dilakukan
diharapkan dapat menduga dinamika pertumbuhan tegakan dalam menjamin
kelestarian produksi suatu pengelolaan hutan. Oleh karena itu, keahlian dan
pengetahuan tentang pemodelan pengaturan hasil penting untuk dipahami.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah memodelkan
dinamika pertumbuhan tegakan dengan menduga jumlah pohon dan jumlah
volume masak tebang.
1.3 Manfaat
Pemodelan ini dapat menjadi memberikan gambaran
mengenai volume jatah tebang tahunan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pertumbuhan tegakan didefinisikan sebagai perubahan
ukuran dan sifat terpilih tegakan (dimensi tegakan) yang terjadi selama periode
waktu tertentu, sedangkan hasil tegakan merupakan banyaknya dimensi tegakan
yang dapat dipanen yang dikeluarkan pada waktu tertentu. Perbedaan antara
pertumbuhan dan hasil tegakan terletak pada konsepnya yaitu produksi biologis
untuk pertumbuhan tegakan dan pemanenan untuk hasil tegakan. Pengelolaan hutan
berada pada keadaan kelestarian hasil, apabila besarnya hasil sama dengan
pertumbuhannya dan berlangsung terus-menerus. Dapat dikatakan bahwa jumlah
maksimum hasil yang dapat diperoleh dari hutan pada suatu waktu tertentu adalah
kumulatif pertumbuhan sampai waktu tersebut, sedangkan jumlah maksimum hasil
yang dapat dipanen secara terus-menerus setiap periode sama dengan pertumbuhan
dalam periode waktu tersebut (Davis dan Jhonson 1987 dalam Latifah 2004).
Nyakpa et
al. (1998)
menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan adalah faktor
genetik dan faktor lingkungan. Salah satu peranan penting dari faktor genetik
adalah kemampuan tanaman untuk berproduksi tinggi. Faktor-faktor lingkungan yang
mempengaruhi pertumbuhan tanaman adalah suhu, ketersediaan air, energi surya,
mutu atmosfer, struktur dan komposisi udara tanah, reaksi tanah dan organisme
tanah. Sedangkan menurut Davis dan Jhonson (1987) dalam Latifah (2004), faktor
yang memengaruhi pertumbuhan banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor tempat
tumbuh, seperti kerapatan tegakan, karakteristik umur tegakan, faktor iklim
(temperatur, presipitasi, kecepatan angin dan kelembaban udara), serta faktor
tanah (sifat fisik, komposisi bahan kimia, dan komponen mikrobiologi tanah).
Diameter merupakan salah satu dimensi pohon yang paling sering digunakan
sebagai parameter pertumbuhan. Pertumbuhan diameter dipengaruhi oleh
faktor-faktor yang mempengaruhi fotosintesis. Pertumbuhan diameter berlangsung
apabila keperluan hasil fotosintesis untuk respirasi, penggantian daun,
pertumbuhan akar dan tinggi telah terpenuhi. Pertumbuhan tinggi pohon
dipengaruhi oleh perbedaan kecepatan pembentukan dedaunan yang sangat sensitif
terhadap kualitas tempat tumbuh. Setidaknya terdapat tiga faktor lingkungan dan
satu faktor genetik (intern) yang sangat nyata berpengaruh terhadap pertumbuhan
tinggi yaitu kandungan nutrien mineral tanah, kelembaban tanah, cahaya
matahari, serta keseimbangan sifat genetik antara pertumbuhan tinggi dan
diameter suatu pohon.
Rotasi adalah jangka waktu dalam tahun yang diperlukan
oleh suatu jenis tanaman untuk mencapai umur masak tebang, dihitung sejak jenis
tersebut ditanam. Nampak dari definisi tersebut bahwa konsep rotasi dipakai
untuk pengelolaan hutan dengan tujuan menghasilkan kayu dari tegakan seumur.
Untuk tegakan tidak seumur, istilah yang dipakai untuk arti yang sama dengan
rotasi adalah siklus tebangan (cutting
cycle). Istilah yang bersifat umum untuk mengganti dua istilah
tersebut adalah daur. Simon (1993) mengatakan bahwa yang dimaksud
dengan daur adalah jangka waktu (dalam tahun) yang diperlukan oleh suatu jenis
tegakan hutan untuk mencapai umur masak tebang, dihitung sejak jenis tersebut
ditanam.
Faktor yang mempengaruhi siklus tebang, antara lain:
a) rata-rata pertumbuhan (bervariasi sesuai jenis, tempat tumbuh, intensitas
penjarangan); b) karakteristik suatu jenis dalam hal umur hidup pohon, umur
produksi biji, umur ketika mencapai kualitas kayu tertentu; c) respon tanah
seperti kemunduran atau perubahan karakter setelah beberapa kali dipanen; dan
d) faktor ekonomi (biaya dan pendapatan).
Macam-macam daur (siklus tebang) menurut Simon (1993)
adalah daur fisik, daur silvikultur, daur teknik, dan daur volume produksi
maksimal. Daur fisik ialah daur yang berimpit dengan
umur atau kematian alami dari suatu jenis pohon untuk kondisi tempat tumbuh
tertentu. Menurut Simon (1993) daur
ini dapat ditetapkan sama dengan umur pada waktu pohon masih dapat
menghasilkan biji yang dapat tumbuh dengan baik, jadi dalam hal ini daur fisik
tidak mempengaruhi nilai ekonomi dari suatu tegakan hutan. Sehingga daur fisik
tidak mempunyai nilai praktis untuk menentukan kapan suatu tegakan hutan dapat
ditebang/ dipanen karena sudah mencapai umur daurnya. Daur silvikultur merupakan
daur dalam rangka permudaan alami. Dalam hal ini merupakan umur tegakan yang
mulai menghasilkan biji untuk permudaan alami, biasanya jauh sebelum umur alami
tegakan itu sendiri atau dapat juga sebelum titik tertinggi dari volume
produksi kayunya.
Daur
Teknik ialah umur dari tegakan dari mulai ditanam sampai pada ukuran tertentu
untuk dapat dipanen sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Tujuan yang
dimaksud ini misalnya tujuan untuk kayu pulp, kayu bakar atau kayu pertukangan.
Sehingga daur teknis dari suatu tegakan hutan dapat pendek atau lama. Misalnya
daur untuk produksi kayu pulp dapat 6 atau 8 tahun, sedangkan daur teknis untuk
kayu jati bila tujuannya untuk kayu pertukangan dapat mencapai 40 s/d 100
tahun. Daur volume produksi maksimal merupakan umur suatu
tegakan dimana diperoleh kayu dengan volume yang terbesar.
Oliver dan Larson (1990) yang diacu dalam Boreel
(2009) mengemukakan bahwa struktur tegakan adalah penyebaran fisik dan temporal
dari pohon-pohon dalam tegakan yang penyebarannya tersebut berdasarkan jenis,
pola penyebaran vertikal atau horizontal, ukuran pohon termasuk volume tajuk,
indeks luas daun, batang, penampang lintang batang, umur pohon atau
kombinasinya. Dijelaskan pula bahwa struktur tegakan adalah distribusi jenis
dan ukuran pohon dalam tegakan atau hutan yang menggambarkan komposisi jenis,
distribusi diameter, distribusi tinggi dan kelas tajuk (Oliver dan Larson 1996
dalam Boreel 2009)
Kegunaan struktur
tegakan
hutan menurut Suhendang (1985), pengetahuan tentang
struktur tegakan hutan berguna untuk penentuan kerapatan pohon pada berbagai
kelas diameter, penentuan luas bidang dasar tegakan dan penentuan biomassa
tegakan. Dikemukakan juga bahwa untuk pertimbangan faktor ekonomi, struktur
tegakan dapat menunjukkan potensi minimal yang harus tersedia, sedangkan untuk
pertimbangan ekologis dari struktur tegakan akan diperoleh gambaran mengenai
kemampuan regenerasi dari tegakan yang bersangkutan. Struktur tegakan hutan
juga dapat memberikan informasi mengenai dinamika populasi suatu jenis atau
kelompok jenis, mulai dari tingkat semai, pancang, tiang dan pohon (Istomo
1994).
Struktur tegakan hutan adalah sebaran individu
tumbuhan dalam lapisan tajuk (Bustomiet
al. 2006) dan dapat diartikan sebagai sebaran pohon per satuan luas dalam
berbagai kelas diameternya (Bustomi et
al. 2006). Secara
keseluruhan struktur tegakan pohon adalah hubungan antara banyaknya pohon
dengan kelas diameter dalam plot penelitian, sebaran pohon dengan kelas
diameter 10-19 cm, 20-29 cm, 30-39 cm dan diameter ≥40 cm (Heriyanto dan
Subiandono 2012).
Struktur tegakan hutan yang menunjukkan jumlah pohon
yang semakin berkurang dari kelas diameter kecil ke kelas diameter besar,
sehingga bentuk kurva pada umumnya dicirikan oleh jumlah sebarannya menyerupai
huruf “J” terbalik. Struktur tegakan yang menunjukkan karakteristik yang
demikian, dapat dikatakan hutan tersebut masih normal. Dalam suksesi hutan
selalu terjadi perubahan dari waktu ke waktu. Perubahan struktur tegakan
tersebut kemungkinan karena adanya perbedaan kemampuan pohon dalam memanfaatkan
energi matahari, unsur hara/mineral dan air, serta sifat kompetisi. Oleh karena
itu susunan pohon di dalam tegakan hutan akan membentuk sebaran kelas diameter
yang bervariasi (Ewusie 1980). Struktur tegakan dapat menunjukkan potensi
tegakan (timber standing stock)
minimal yang harus tersedia sehingga layak dikelola, sedangkan ditinjau dari
faktor ekologi, struktur tegakan dapat memberikan gambaran tentang kemampuan
regenerasi tegakan (Suhendang 1994).
Pengelompokan jenis pohon yang terlalu spesifik,
misalnya berdasarkan toleransi terhadap naungan dan kecepatan pertumbuhannya,
tidak bisa dilakukan karena dapat menyebabkan tidak diperolehnya pengamatan
(tidak ada pohon) pada kelas diameter tertentu, sehingga tidak semua jenis atau
kelompok jenis memiliki data yang cukup untuk dilakukan pemodelan (Vanclay
1995).
Model adalah suatu abstraksi
atau penyederhanaan sari dunia nyata, yang dapat merepresentasikan struktur dan
interaksi elemen serta perilaku keseluruhannya sesuai dengan sudut pandang dan
tujuan yang diinginkan (Purnomo 2005). Pemodelan merupakan suatu rangkaian kegiatan
pembuatan model dari dunia nyata. Tujuan dari pembuatan model adalah
penyederhanaan sistem yang kompleks serta pengumpulan informasi yang penting.
Pengaturan hasil yang tepat dapat diperoleh dari
pendugaan pertumbuhan dan hasil tegakan pada periode waktu tertentu. Hasil
proyeksi pertumbuhan ini dapat digunakan sebagai dasar pemilihan tindakan
silvikultur seperti lamanya rotasi, intensitas pemanenan, periode, dan
intensitas penjarangan. Proyeksi pertumbuhan juga dapat digunakan untuk menilai
efektivitas dan efisiensi kegiatan pengelolaan hutan yang dilakukan (Aswandi
2011).
Pendugaan pertumbuhan dan hasil tegakan dapat
dilakukan dengan menggunakan pendekatan model. Model pertumbuhan dan hasil dibangun
berdasarkan hubungan matematika parameter tegakan seperti kerapatan, umur
tegakan, dan produktivitas tapak yang menyediakan deskripsi kuantitatif
perkembangan tegakan hutan pada suatu rentang waktu, kondisi, dan tindakan
pengelolaan. Untuk menyusun model penduga pertumbuhan hutan maka diperlukan
informasi dinamika dan pertumbuhan tegakan. Informasi tersebut dapat diperoleh
dari pengukuran tegakan pada petak ukur permanen. Pengukuran dilakukan setiap
tahun sampai rentang waktu tertentu (Aswandi 2011).
Menurut Grant et al.
(1997) dalam (Sumadi A
et al. 2008) dalam menyusun
model sistem tahapan yang harus dilakukan antara lain:
a) Formulasi Model Konseptual
Tahapan ini merupakan
tahapan untuk menentukan konsep dan tujuan model sistem dibuat. Formulasi model
konseptual berdasarkan kondisi nyata yang ada di alam kemudian dibuat model
sistem dalam komputer. Kenyataan yang ada di alam dimasukkan dalam simulasi
dengan memperhatikan komponen-komponen yang terkait sesuai dengan konsep dan
tujuan melakukan
pemodelan simulasi.
b) Spesifikasi Model Kuantitatif
Tahapan spesifikasi
model kuantitatif bertujuan untuk membentuk model kuantitatif model simulasi.
Pembuatan model ini dilakukan dengan menerjemahkan setiap hubungan antara
variabel dan komponen penyusun model sistem tersebut ke dalam persamaan
matematik, sehingga dapat dioperasikan oleh program simulasi.
c) Evaluasi
Model
Evaluasi model berguna
untuk mengetahui keterandalan model sesuai dengan tujuan yang ditetapkan.
Langkah-langkah dalam evaluasi model, meliputi: mengevaluasi kewajaran model
dan kelogisan model, dan analisis
sensitivitas, dilakukan untuk melihat kewajaran perilaku model jika dilakukan
perubahan salah satu parameter
dalam model secara ekstrem.
d) Penggunaan Model Tujuan
Tahapan ini, yaitu untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang telah diidentifikasi pada awal pembuatan model dan
untuk menjawab tujuan penelitian. Tahapan ini melibatkan perencanaan dan
simulasi dari beberapa skenario.
Annual Allowable Cutting (AAC)/ Jatah Tebangan Tahunan, ditetapkan berdasarkan
hubungan antara luas areal pengelolaan, volume total ketersediaan kayu di areal
tersebut, serta berdasarkan etat tebang di setiap areal pengelolaan. AAC
semestinya merupakan penjumlahan total AAC dari setiap unit manajemen hutan untuk menemukan angka AAC Nasional. Namun apabila
data potensi tegakan tidak
dimiliki, cara apa pun yang akan digunakan dalam penetapan jatah tebangan
tahunan tidak berarti sama sekali dan mengandung risiko yang sama besarnya
terhadap kelestarian hutan di Indonesia. Dengan demikian, selain cara
penetapan, ketepatan angka target produksi tahunan akan sangat bergantung
terhadap kebenaran data dan informasi yang digunakan. Selama ini, jatah
tebangan tahunan memang ditetapkan berdasarkan inventarisasi tegakan, tetapi
sayangnya, inventarisasi yang dilakukan tidak mencakup seluruh areal yang
dikelola. Inventarisasi tegakan semestinya diposisikan sebagai sensus yang akan
digunakan sebagai dasar dalam kegiatan pengelolaan (Warsito 2005).
Prinsip-prinsip dalam penetapan etat tebangan
(Rahmawati 2006), antara lain a) etat volume tidak dibenarkan melebihi riap
(pertumbuhan tegakan); b) pemanfaatan semua jenis kayu komersial secara optimal;
c) menjamin kelestarian produksi dan kelestarian hutan; d) memperhatikan
kebijaksanaan pemerintah di bidang pengusahaan hutan; dan e) menjamin fungsi
perlindungan hutan. Sedangkan faktor yang mempengaruhi etat tebangan (Rahmawati
2006), antara lain a) sistem silvikultur yang digunakan; b) rotasi tebangan
yang digunakan; c) diameter minimum yang diizinkan untuk ditebang; c) luas
areal berhutan yang dapat dilakukan penebangan; d) masa tegakan; e) jenis pohon;
f) kriteria pohon inti; g) kriteria pohon induk; dan h) faktor pengaman (fp)
dan faktor eksploitasi (fe).
BAB III
METODOLOGI
3.1
Waktu dan Tempat
Makalah pemodelan sistem ini dilaksanakan dengan
dua tahapan, yaitu pengarahan dari dosen mata kuliah pada tanggal 19 Desember 2016 pukul 13.00-16.00 WIB di RK.GU 301
dan penyelesaian makalah secara berkelompok.
3.2 Alat
dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam penyusunan
makalah ini, yaitu:
·
Laptop
·
Alat
tulis
·
Data
pertumbuhan tegakan
·
Program:
Stella 9.0.2, Ms.
Office Word dan Ms. Office Excel
3.3 Prosedur
Praktikum
Pemodelan sistem dilaksanakan dengan
langkah-langkah sebagai berikut:
1. Pengolahan Data
Data yang digunakan merupakan data sekunder yang
bersumber dari skripsi Model Dinamika Struktur Tegakan Hutan Alam
Bekas Tebangan di Provinsi Kalimantan Timur (Maryono 2009). Data pertumbuhan tersebut berupa data ingrowth, upgrowth, dan mortality.Selanjutnya, membagi data ke
dalam beberapa kelas diameter.
2. Pemodelan
Tahapan pemodelan dilakukan dalam
beberapa tahapan,
yaitu:
a) Konseptualisasi model
Tujuan dari tahap ini
adalah
untuk
menentukan konsep dan tujuan model sistem pertumbuhan tegakan,
yaitu mendapat nilai jatah tebang. Setelah itu menentukan komponen-komponen
sistem yang berkaitan dengan pencapaian tujuan
tersebut. Mengidentifikasi
komponen-komponen tersebut
dengan keterkaitannya dan merepresentasikan model dengan diagram
kotak-panah (box-arrow). Pembatasan
dan definisi komponen‑komponen dalam sistem sebagai berikut:
·
Siklus
tebang adalah interval waktu (dalam tahun) antara dua penebangan yang
berurutan di tempat yang sama dalam sistem sivikultur polisiklik.
·
Struktur
tegakan (struktur tegakan horizontal) adalah banyaknya pohon per satuan.
luas (per hektar) pada setiap kelas diameter.
·
Ingrowth didefinisikan
sebagai besarnya tambahan terhadap banyaknya pohon per
hektar pada kelas diameter terkecil selama periode waktu tertentu.
·
Upgrowth adalah
besarnya tambahan jumlah pohon per hektar terhadap kelas diameter tertentu
yang berasal dari kelas diameter di bawahnya dalam periode waktu tertentu.
·
Mortality adalah
banyaknya pohon hektar yang mati pada setiap kelas diameter dalam periode
waktu tertentu.
Penggolongan
komponen-komponen sistem:
·
State variabel
State variabel cenderung akan
memiliki nilai yang berbeda dipengaruhi oleh faktor waktu. Laju penambahan
pohon pada tiap kelas diameter (upgrowth)
akan berbeda pada setiap kelas diameter, hal ini dikarenakan adanya perbedaan
pertumbuhan riap pohon di setiap kelas. Pohon akan cenderung mengalamai
pertumbuhan yang semakin konstan di kelas diameter yang semakin tinggi.
·
Driving variabel
Kematian atau mortality dapat memepengaruhi secara
langsung dari jumlah pohon yang tersedia dalam kelas diameter. Nilai ini tidak
dipengaruhi oleh faktor waktu.
·
Konstanta
Nilai yang bernilai tetap dalam
pemodelan ini diantaranya adalah nilai lbds dari jenis komersial dan
non-komersial di awal kelas diameter sebesar 0.3 m2 dan 1.04 m2, nilai konstanta
pada persamaan ingrowth, serta nilai
dugaan volume untuk satu pohon di kelas diameter 50-60 cm dan 60 cm up yaitu
sebesar 4 m3 dan 5 m3.
·
Auxilary variabel
Variabel ini merupakan variabel
yang memepengaruhi dan dipengaruhi variabel lain. Pemodelan yang dilakukan ini
tidak terdapat auxilary variabel karena variabel-variabel yang ada cenderung
mempengaruhi dalam satu arah.
·
Material dan information transfer
Jumlah pohon yang ditebang
adalah pada kelas diameter 50-60 cm dan 60 cm dilakukan pada setiap daur 35
tahun.
·
Source dan sinks
Data utama yang dipakai dalam
pemodelan ini adalah jumlah pohon pada setiap kelas umur diameter.
b) Spesifikasi (Kuantifikasi) Model
Tahapan
spesifikasi model dilakukan untuk menerjemahkan setiap hubungan antar variabel
dan komponen penyusun model sistem ke dalam persamaan matematik. Data yang
digunakan untuk menduga parameter-parameter model dinamika struktur tegakan
dalam makalah ini berasal dari data sekunder, berupa:
·
Persamaan ingrowth
Menurut
Abdullah (2003) dalam Maryono (2009) ingrowth
untuk semua jenis diduga dengan rumus per kelas diameter 10 - 20 dengan Ingrowth =
9,38 - 0,000017*B2
Dengan B =
Luas bidang dasar tegakan (cm2)
·
Persamaan upgrowth
Asumsi nilai upgrowth rate untuk setiap kelas diameter disesuaikan dengan data pertama bahan
jumlah pohon pada setiap kelasnya. Nilai upgrowth
dapat diperoleh dari perbandingan antara jumlah pohon yang pindah ke kelas
diameter atas dengan total jumlah pohon pada kelas diameternya.
·
Persamaan mortality
Nilai mortality rate untuk setiap kelas diameter pohon disesuaikan dengan data yang diambil. Besarnya nilai mortality diperoleh dari persen jumlah
pohon yang mati pada setiap kelas diameter.
c) Evaluasi Model
Mengetahui
pengaruh model terhadap tujuan yang ditetapkan. Evaluasi model dapat dilakukan
dengan mengevaluasi kewajaran dan kelogisan model, serta analisis sensitivitas.
Pemodelan yang dilakukan ini hanya dievaluasi pada melihat tingkat kewajaran
hasil yang diperoleh.
d) Penggunaan Model (Analisis Hasil)
Melihat pertumbuhan tegakan setiap tahunnya pada
grafik. Selanjutnya melihat nilai hasil akhir volume total tegakan pada kelas
diameter yang akan ditebang.
BAB
IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Hasil
Gambar 1 Struktur
volume
jatah tebang
Tabel 1. Jumlah
dan volume pohon ditebang
Jenis Pohon
|
50-60
|
60 up
|
||
Jumlah (pohon/ha)
|
Volume (m3/ha)
|
Jumlah (pohon/ha)
|
Volume
(m3/ha)
|
|
Dipterocarpaceae
|
2
|
8
|
2
|
10
|
Non-Dipterocarpaceae
|
5
|
20
|
21
|
105
|
4.2
Pembahasan
Pemodelan
ini dilakukan untuk menduga jumlah pohon dan jumlah volume jatah tebang setiap
petak tebang pada akhir daur. Jika pada saat masak tebang dilakukan tebang 100%
maka untuk menunggu kelas diameter sebelum kelas diameter masak tebang tidak
akan ada kegiatan penebangan dengan demikian tidak ada pemasukan bagi perusahaan. Pada skenario yang disusun
penebangan dilakukan pada diameter lebih dari 50 cm, yaitu pada kelas diameter
50 – 60 cm dan 60 up. Berdasarkan model yang dibuat diperoleh jumlah pohon pada
kelas diameter 50 – 60 cm untuk kedua jenis pohon sebanyak 7 pohon/ha. Apabila
pohon memiliki volume rata-rata 4 m3, maka volume total pohon pada
penebangan pertama sebesar 28 m3/ha. Pada kelas diameter 60 up, jumlah pohon yang ditebang adalah 23
pohon/ha. Apabila pohon memiliki
volume
rata-rata 5 m3, maka volume total pohon pada penebangan pertama
sebesar 115 m3/ha.
Ingrowth pada
model yang disusun terdapat pada kelas diameter pertama (10 – 20 cm) dengan
menggunakan persamaan Abdullah (2003) dalam Maryono (2009) dimana variabel yang digunakan adalah luas
bidang dasar. Besarnya unsur-unsur dinamika struktur tegakan dipengaruhi oleh
luas bidang dasar suatu areal. Besarnya ingrowth
dan upgrowth berbanding terbalik
dengan luas bidang dasar yaitu semakin rapat luas bidang dasar maka kemampuan
pohon untuk tumbuh akan semakin kecil, sebaliknya mortality akan semakin meningkat dengan semakin rapatnya luas
bidang dasar. Hal ini terjadi karena semakin meningkatnya kompetisi individu
pohon untuk mendapatkan unsur hara dan keterbatasan cahaya pada luas bidang
dasar yang semakin rapat. Hal tersebut sesuai dengan yang dikatakan dalam
Buongiorno et al. (1995) dalam Tari
(2014) bahwa ingrowth dan upgrowth berhubungan negatif dengan luas
bidang dasarnya, sedangkan mortality
berhubungan positif dengan luas bidang dasarnya.
Mortality adalah
banyaknya pohon yang mati alami dan mati akibat efek penebangan dalam waktu
satu tahun per ha. Akibat efek penebangan tidak dipengaruhi oleh kerapatan
tegakan. Mortality pada
jenis Dipterocarpaceae hanya pada kelas diameter 10 – 20 cm yaitu sebanyak 6
pohon. Hal ini dipengaruhi kemampuan adaptasi pohon terhadap lingkungan
sehingga dapat terseleksi dengan mudah.
Faktor
yang dipertimbangkan dan berpengaruh terhadap ingrowth suatu jenis salah satunya adalah tingkat gangguan. Jika
tegakan hutan terganggu, misal akibat operasi logging, maka regenerasi akan
meningkat untuk kemudian menjadi pohon ingrowth.
Parameter yang mencerminkan adanya gangguan adalah perubahan kerapatan tegakan
yang diihat dari bidang dasar tegakan. Ingrowth
dalam tegakan yang tidak terganggu (berarti bidang dasar tegakan relatif konstan
bahkan cenderung meningkat) relatif lebih kecil dibandingkan tegakan yang sudah
terganggu, dimana kerapatan tegakan umumnya lebih rendah. Tegakan yang lebih
rapat akan mempunyai ingrowth dan upgrowth yang lebih kecil (Agustini
2006).
Diantara
fenomena pertumbuhan tegakan tidak seumur ingrowth
dan upgrowth merupakan fenomena yang
sangat penting untuk diketahui. Ingrowth
adalah banyaknya pohon yang mengalami penambahan diameter dari masih dalam
tingkat tiang ke tingkat pohon pada diameter minimal dari suatu periode (Alder,
1995) sedangkan upgrowth adalah
banyaknya individu yang pindah dari kelas diameter yang lebih kecil ke kelas
diameter yang lebih besar dalam suatu periode. Menurut Green et al., (1997)
dalam Abdulah (2003) ingrowth dipengaruhi
oleh luas bidang dasar, berat benih, kapasitas tumbuh aksial dan toleransi
tajuk.
BAB
V
PENUTUP
Simpulan
Pemodelan dapat digunakan untuk
menduga jumlah pohon dan volume jatah tebang pada akhir daur. Jumlah pohon yang
dapat ditebang pada akhir daur untuk jenis Dipterocarpaceae kelas diameter
50-60 cm adalah sebanyak 2 pohon per ha dengan volume 8 m3 dan kelas
diameter 60 up sebanyak 2 pohon per ha dengan volume 10 m3. Jenis
non Dipterocarpaceae pada kelas diameter 50-60 up sebanyak 5 pohon per hektar
dengan total volume 20 m3. Kelas diameter 60 up pada akhir daur yang siap dipanen sebanyak 21
pohon per hektar dengan volume total 105 m3.
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Agustini K. 2014. Ingrowth dan upgrowth di hutan
alam bekas tebangan untuk jenis komersial. [Skripsi]. Bogor(ID): Institut
Pertanian Bogor.
Aswandi. 2011.
Model pertumbuhan dan hasil hutan tanaman Eucalyptus grandis Hill Exmaiden di
Aek Nauli
Simalungun Sumatera Utara. Widyariset. 14(2): 311-322.
Boreel A. 2009.
Struktur tegakan dan sebaran spasial jenis pohon torem (Manilkara kanosiensis)
di Pulau Yamdena Kabupaten Maluku Tenggara Barat. [Tesis]. Bogor (ID): IPB Press.
Bustomi S,
Wahjono D, dan Heriyanto NM. 2006. Klasifikasi potensi tegakan hutan alam
berdasarkan citra satelit di Kelompok Hutan Sungai Bomberai - Sungai Besiri di
Kabupaten Fakfak, Papua. Jurnal
Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Vol 3(4): 437-458.
Ewusie JY. 1980.
Pengantar Ekologi Tropika. Bandung
(ID): ITB Press.
Heriyanto N.M dan Subiandono E. 2012. Komposisi Dan Struktur
Tegakan, Biomasa, Dan Potensi Kandungan Karbon Hutan Mangrove di Taman Nasional
Alas Purwo. Jurnal Penelitian Hutan dan
Konservasi Alam. Vol 9(1): 023-032.
Istomo. 1994.
Hubungan antara Komposisi, Struktur dan Penyebaran Ramin Studi Kasus di Areal
HPH PT. Inhutani III Kalimantan Tengah. [Tesis]. Bogor (ID): IPB Press.
Latifah S. 2004.
Pertumbuhan dan hasil tegakan Eucalyptus
grandis di hutan tanaman Industri. [terhubung berkala].http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/946/1/hutan-siti9.pdf. (diakses 16 Desember 2016)
Nyapka
et al. 1998. Kesuburan Tanah.
Lampung(ID): Universitas Lampung.
Oliver,
C.D, Larson B.C. 1996.Forest
Stand Dynamic, Update edition. New York(US): John
Wiley and Sons
Purnomo H. 2005. Teori Sistem Komplek, Pemodelan, dan
Simulasi.Bogor (ID): Fakultas Kehutanan,
IPB.
Rahmawati.
2006. Perencanaan pengelolaan hutan di Indonesia [karya tulis]. Medan(ID): Universitas Sumatera Utara.
Simon
H. 1993. Metode Inventori Hutan.
Yogyakarta (ID): Aditya Media.
Suhendang
E. 1985. Studi model struktur tegakan hutan alam hujan tropika dataran rendah
di Bengkunat. propinsi daerah Tingkat I Lampung. [Tesis]. IPB Press.Bgor
______. 1994. Penerapan
Model Dinamika Struktur Tegakan Hutan Alam yang Mengalami Penebangan dalam
Pengaturan Hasil dengan Metode Jumlah Pohon sebagai Suatu Alternatif Upaya
Penyempurnaan Sistem Silvikultur TPTI. Bogor (ID): Penelitian Hibah
Bersaing Perguruan Tinggi Tahun Anggaran 1994/1995 Fakultas Kehutanan IPB.
Sumadi A, Utami S, dan Waluyo EA. 2008. Pendekatan
model sistem dalam kebijakan pengelolaan populasi (CervustimorensisMul. &Schl. 1844) di Taman Nasional Baluran. Jurnal Penelitian dan Konservasi Alam.
Vol. 5(3): 201-215.
Tari DPL. 2014. Model simulasi
pengaturan hasil hutan kayu pada hutan alam PT Suka Jaya Makmur Provinsi
Kalimantan Barat. [Skripsi]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor.
Vanclay JK.
1995. Growth models for tropical forest: a synthesis of models and methods. Forest Science 41(1):7–42.
Warsito
SP. 2005. Annual Allowable Cutting,
Penetapan, dan Masalah Umum. Bogor(ID): Forest Watch Indonesia.
LAMPIRAN
Lampiran
1. Equation pada Stella
Kelas diameter
|
Jumlah Pohon
|
LBDS
|
|||||||||
D
|
N
|
D
|
N
|
||||||||
10-20.
|
74
|
239
|
1,20066
|
4,14485
|
|||||||
20-30
|
18
|
87
|
0,7917
|
3,99065
|
|||||||
30-40
|
6
|
43
|
0,56315
|
4,02198
|
|||||||
40-50
|
8
|
23
|
1,21762
|
3,65846
|
|||||||
50-60
|
4
|
13
|
0,9246
|
3,11539
|
|||||||
60
up
|
2
|
21
|
0,89506
|
11,03916
|
|||||||
total
|
112
|
426
|
5,59279
|
29,97049
|
|||||||
Kelas diameter
|
Dipterocarpaceae
|
non Dipterocarpaceae
|
|||||||||
Upgrowth
|
Mati
|
Tetap
|
Upgrowth
|
Mati
|
Tetap
|
||||||
10-20.
|
35
|
6
|
33
|
114
|
16
|
109
|
|||||
20-30
|
6
|
0
|
12
|
43
|
0
|
44
|
|||||
30-40
|
4
|
0
|
2
|
27
|
1
|
16
|
|||||
40-50
|
2
|
0
|
6
|
14
|
0
|
8
|
|||||
50-60
|
2
|
0
|
2
|
8
|
0
|
5
|
|||||
60
up
|
0
|
0
|
2
|
0
|
0
|
21
|
|||||
total
|
49
|
6
|
57
|
206
|
17
|
203
|
|||||
Tidak ada komentar:
Posting Komentar