Minggu, 01 Januari 2017

PAPER BIOMETRIKA HUTAN
MODEL KAJIAN PENINGKATAN LUAS PRODUKTIF HUTAN JATI DI KPH BOJONEGORO PERUM PERHUTANI UNIT II JAWA TIMUR

Disusun Oleh :
Kelompok 2
(Praktikum Biometrika Hutan Kamis 07.00-10.00)

Maha Suka Sudharmo                         E14130031
Linda Karisma                                    E14130032
Widya Rachmadani Pradana              E14130034
Nur Lailatul Khasanah                        E14130035
Gilang Raihan Eka Ditri                     E14130037
Alvita Rosa                                         E14130040
Muhammad Naek                               E14130041
Nitya Ade Santi                                  E14130044
Khoirum Minan                                   E14130045
Anisa Pamungki                                  E14130046

Dosen Pengampu :
Dr. Ir. Budi Kuncahyo, MS


DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Description: C:\Users\gilang Raihan\AppData\Local\Microsoft\Windows\INetCache\Content.Word\logo-ipb (1).png2016
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Hutan yang ada di Indonesia menyimpan berbagai kekayaan alam dan merupakan ekosistem yang kompleks. Salah satu sumberdaya hutan yang banyak dimanfaatkan adalah kayu. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dan persekutuan alam lingkungan. Hutan sebagai kekayaan alam harus dikelola secara lestari. Pengelolaan hutan lestari perlu dilaksanakan agar perubahan hutan yang terjadi secara terus menerus dapat berlangsung tanpa mengurangi nilai kelestariannya. Pengelolaan hutan secara lestari dengan mewujudkan asas kelestarian, baik itu kelestarian hasil hutan maupun kelestarian perusahaan. Hutan tanaman jati di Jawa dikelola oleh Perum Perhutani dengan tujuan untuk mencapai pengelolaan hutan yang lestari.
Kondisi sebaran kelas hutan produktif saat ini di sebagian besar kawasan KPH lingkup Perum Perhutani sudah tidak normal, karena didominasi oleh kelas hutan umur muda. Salah satu penyebabnya adalah dampak dari penjarahan yang terjadi sekitar tahun 1997–2000. Luas kelas umur KU I – KU IV sebesar 500.605,08 ha (91,8%), sedangkan KU V keatas (termasuk MT dan MR) hanya 44.223,97 ha(8,1%). Untuk mengantisipasi kebutuhan kayu yang terus meningkat sejalan dengan pertambahan penduduk dan untuk meningkatkan pendapatan, sedangkan kualitas lahan tempat tumbuhnya semakin menurun, tindakan intensifikasi pengelolaan hutan jati sangat diperlukan untuk meningkatkan produktivitas dan kualitasnya.

1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada paper ini adalah mengenai luas produktif hutan jati di KPH Bojonegoro Perum Perhutani Unit II Jawa Timur.

1.3 Tujuan
Tujuan dari paper ini yaitu mengkaji tentang peningkatan luas produktif hutan jati di KPH Bojonegoro Perum Perhutani Unit II Jawa Timur.

1.4 Manfaat
Manfaat yang diharapkan adalah sebagai berikut :
1. Model simulasi pengelolaan hutan ini diharapkan dapat membantu dan memberikan masukan dalam Unit II Jawa Timur.
2. Memberikan informasi mengenai pengelolaan hutan ini diharapkan dapat membantu dan memberikan masukan dalam peningkatan luas produktif hutan jati di KPH Bojonegoro Perum Perhutani Unit II Jawa Timur.

1.5 Tinjauan Pustaka
Pemodelan sistem berawal dari bagaimana kita mencoba memahami dunia nyata ini dan menuangkannya menjadi sebuah model dengan beragam metode yang ada. Tidak ada model yang benar dan salah. Model dinilai dari sejauh mana dia dapat berguna. Sehingga langkah pertama dalam pemodelan adalah menentukan tujuan dari pemodelan tersebut. Model dapat dibuat untuk memprediksi sebuah komponen dalam model setelah jangka waktu tertentu. Kegunaan model sebagai alat prediksi terletak pada ketepatan dan ketelitian hasil prediksinya. Model juga dapat dipakai sebagai wahana untuk belajar paran pihak yang ingin memahami struktur dan perilaku dari sumberdaya alam.
Kegunaan model sebagai sarana belajar terletak pada bagaimana proses belajar terjadi secara efektif dengan memanfaatkan model yang dibuat. Pemodelan sistem merupakan sebuah ilmu pengetahuan dan seni. Sebuah ilmu pengetahuan karena ada logika yang jelas ingin dibangunnya dengan urutan yang sesuai. Sebuah seni, karena pemodelan mencakup bagaimana menuangkan persepsi manusia atasdunia nyata dengan segala keunikannya.
Tahapan pemodelan telah dikemukakan dalam banyak literatur seperti pada Grant et al., (1997) dan Sterman (2000). Kami menyarankan pemodelan sistem dilakukan dengan fase-fase sebagai berikut:
a. Identifikasi isu atau masalah, tujuan dan batasan;
b. Konseptualisasi model dengan menggunakan ragam metode seperti diagram kotak dan panah, diagram sebab-akibat, diagram stok dan flow atau diagram sekuens;
c. Formulasi model, merumuskan makna diagram, kuantifikasi dan atau kualifikasi komponen model jika perlu;
d. Evaluasi model, mengamati kelogisan model dan membandingkan dengan dunia nyata atau model andal yang serupa jika ada;
e. Penggunaan model, membuat skenario-skenario ke depan atau alternatif kebijakan, mengevaluasi ragam skenario atau kebijakan tersebut dan pengembangan perencanaan dan agenda bersama.
Hutan Tanaman Industri (HTI)
Sejarah pembangunan hutan di Indonesia, khususnya hutan tanaman telah berlangsung sejak era sebelum memasuki era kemerdekaan. Berbagai kebijakan ditetapkan sebagai landasan hukum kegiatan pembangunan hutan tanaman. Pada dekade 1990, seiring dengan adanya Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1990, maka dimulai pembangunan hutan tanaman yang dilakukan secara terintegrasi dengan industri kehutanan. Program Hutan Tanaman Industri ini diharapkan dapat meningkatkan produktivitas dan kualitas lahan, menjamin ketersediaan bahan baku kayu bagi kepentingan industri serta penyerapan tenaga kerja dan lapangan berusaha (Iskandar dkk., 2003).
Menurut Peraturan Menteri Kehutanan No. 3 tahun 2008, HTI adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh pelaku usaha kehutanan untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur intensif dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan baku industri hasil hutan. Hak Pengusahaan HTI adalah hak untuk mengusahakan hutan di dalam suatu kawasan hutan yang kegiatannya mulai dari penanaman, pemeliharaan, pemungutan, pengelolaan dan pemasaran.
Adapun tujuan pembangunan HTI menurut Direktorat Bina Pengembangan Hutan Tanaman (2009) adalah sebagai berikut :
1. Meningkatkan produktivitas hutan produksi, dalam rangka pemenuhan kebutuhan bahan baku industri perkayuan dan penyediaan lapangan usaha (pertumbuhan ekonomi/pro-growth), penyediaan lapangan kerja (pro-job), pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar hutan (pro-poor) dan perbaikan kualitas lingkungan hidup (pro-enviroment).
2. Mendorong daya saing produk industri perkayuan (penggergajian, kayu lapis, pulp dan paper, meubel dan lain-lain) untuk kebutuhan dalam negeri dan ekspor.
Selain itu, HTI juga dikelola dan diusahakan berdasarkan prinsip pemanfaatan yang optimal dengan memperhatikan aspek kelestarian lingkungan dan sumber daya alamiah serta dengan menerapkan prinsip ekonomi dalam pengusahaannya untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya. Pengelolaan satu kesatuan HTI yang disebut unit HTI merupakan unit pengusahaan yang terdiri dari satu atau lebih kelas perusahaan. Menurut Dephut (1996), kelas perusahaan pada pengusahaan HTI ada empat, yaitu:
1. Kelas perusahaan kayu pertukangan
2. Kelas perusahaan kayu serat
3. Kelas perusahaan kayu energi
4. Kelas perusahaan kayu perusahaan hasil hutan bukan kayu
Menurut Direktorat Bina Pengembangan Hutan Tanaman (2009), setiap unit pengusahaan pada HTI telah diatur tata penggunaan lahannya/tata ruangnya sebagai berikut :
 a. Areal Tanaman Pokok ± 70 %
b. Areal Tanaman Unggulan ± 10 %
c. Areal Tanaman Kehidupan ± 5 %
d. Kawasan Lindung ± 10 %
e. Sarana Prasarana ± 5 %
Adapun beberapa ciri pokok HTI, di antaranya adalah:
1. Sistem silvikultur yang diterapkan adalah tebang habis dengan penanaman kembali.
2. Komposisi jenisnya murni atau campuran.
3. Potensi produksi yang tinggi, baik kuantitas maupun kualitasnya, yang dicapai dengan penerapan silvikultur intensif.
4. Pengusahaan HTI adalah pengusahaan hutan dalam suatu kawasan hutan yang meliputi kegiatan penanaman, pemeliharaan tegakan, pemungutan hasil, pengolahan sampai pemasarannya



BAB II
METODE

2.1 Waktu dan Tempat
Kegiatan praktikum Biometrika Hutan dilaksanakan di RK X301, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Praktikum dilaksanakan setiap hari Kamis pada pukul 07.00 sampai dengan pukul 10.00 WIB.

2.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah seperangkat laptop, alat tulis, dan internet. Sedangkan bahan yang digunakan adalah skripsi yang ditulis oleh Christina Basariadengan judul  “Kajian Kelestarian Tegakan dan Produksi Kayu Jati Jangka Panjang KPH Bojonegoro  Perum Perhutani Unit II Jawa Timur”.

2.3 Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan berupa data sekunder yaitu data luas produktif hutan jati di KPH Bojonegoro Perum Perhutani Unit II Jawa Timur.

2.4 Prosedur Analisis Data
Data yang telah diperoleh dikelompokkan menjadi beberapa kategori komponen sistem antara lain :
1. State Variable (Stok)
State variable menyatakan titik akumulasi dari materi dalam sebuah sistem.
2. Auxiliary Variable (Peubah Pembantu)
Auxiliary variable adalah peubah yang memengaruhi dan dipengaruhi oleh model.
3. Constant (Konstanta)
Constant adalah nilai numerik yang menyatakan sebuah karakteristik yang tidak berubah atau dianggap tidak berubah dalam berbagai kondisi selama waktu simulasi.
4. Driving Variable (Peubah Penggerak)
Driving variable adalah peubah yang memengaruhi model tetapi tidak dipengaruhi oleh model.
5. Information and Material Transfer
Transfer informasi menyatakan transfer nilai dari suatu peubah ke peubah lainnya yang disimbolkan dengan garis tunggal dengan ujung anak panah yang menjelaskan darimana dan kemana transfer nilai itu dilakukan. Sedangkan transfer materi menunjukkan transfer fisik atau materi pada periode waktu tertentu.
6. Source and Sink Source and Sink atau sumber dan buangan menyatakan titik awal dan tujuan atau buangan dari transfer materi (Purnomo 2012).

Menurut Purnomo (2012) pembuatan model sistem terdiri dari beberapa tahapan sebagai berikut:
1.      Identifikasi isu, tujuan dan batasan
Melakukan identifikasi isu bermanfaat untuk mengetahui dimana pemodelan perlu dilakukan. Kemudian menentukan tujuan pembuatan model dan batasan model yang dapat berupa batas ruang, waktu atau batasan isu.
2. Konseptualisasi model
Tujuan tahap ini untuk menetapkan konsep dan tujuan model yang akan dibuat. Penyusunan model dilakukan dengan mengaitkan segala komponen yang ada untuk dimasukkan ke dalam model simulasi untuk dapat mendekati kondisi yang sebenarnya di lapangan.
3. Spesifikasi model
Tujuan dari tahap ini adalah untuk membuat model kuantitatif dari sistem yang diinginkan. Tahapan yang harus dilakukan yaitu pemilihan struktur model, penentuan basic time unit, identifikasi hubungan fungsional persamaan model, dan menjalankan simulasi model.
4. Evaluasi model
Evaluasi model dilakukan dengan menguji kelogisan model yang dibuat dengan dunia nyata.
5. Penggunaan model
Menggunakan model yang telah dibuat untuk mencapai tujuan yang diidentifikasikan di awal pembangunan model tersebut.












BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

Sistem merupakan sekumpulan objek yang dihubungkan satu sama lain dalam sebuah objek melalui beberapa interaksi regular secara bebas untuk mencapai tujuan tertentu. Sistem dipengaruhi oleh perubahan yang terjadi diluar sistem. Cara mempelajari sistem adalah dengan menjalankan objek secara numeric dengan memberi input dan melihat pengaruhnya terhadap output (Tim Dosen 2003). Dinamika sistem atau system dynamics mulai dikenal pada tahun 1960-an melalui kerja Jay W. Forester dan koleganya dari Sloan School of Management di Massachusetts Institute of Technology (MIT), Amerika Serikat. Pengembangan ini merupakan ide-ide penerapan konsep teori kontrol umpan balik terhadap sistem industri. Dinamika sistem merupakan studi perubahan sistem menurut waktu dengan memerhatikan faktor umpan balik. Dinamika sistem digunakan untuk masalah biofisik yang diformulasikan sebagai keadaan masa depan (the future state) tergantung dari keadaan sekarang (the current state) dan factor lainnya.  Persamaan didalamnya direpresentasikan sebagai stock dan aliran (flow) materi atau informasi dalam pemodelan dinamika sistem.  Stok menyatakan titik akumulasi dari materi dalam sebuah sistem. Stok adalah peubah yang pertama kali biasa dibuat dalam pemodelan, sebelum penambahan peubah lainnya (Purnomo 2012).
Pembuatan dinamika sistem bisa menggunakan perangkat lunak komputer pendukung, dimana menggunakan bahasa programmer computer. Salah satunya adalah menggunakan software stella. Stella awalnya diperkenalkan untuk Macintosh pada tahun 1984. Stella menyediakan fitur berbasis grafis untuk mengembangkan model dinamika system. Diagram aliran dan stok dapat dibuat dengan mudah. Sedangkan persamaan matematika ditulis pada dialog-dialog yang diakses dari diagram stok dan aliran (Purnomo 2012).

3.1 Identifikasi isu, tujuan,dan batasan
Isu yang diangkat dalam pemodelan ini adalah kelestarian hasil dan produksi kayu jati di KPH Bojonegoro Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan) Bojonegoro tergolong ke dalam kelas perusahaan jati berdasarkan jenis kayu dan ditetapkan sebagai kelas perusahaan tebang habis berdasarkan bentuk tebangan. Luas KPH Bojonegoro yaitu 50145.4 ha memiliki umur daur 60 tahun dan umur tebang minimum (UTM) 50 tahun. Berdasarkan struktur kelas hutan  dari tahun 1975 sampai 2007 terjadi kerusakan kelas hutan KPH Bojonegoro sehingga areal produktifnya menjadi berkurang. Hal ini menyebabkan kelestarian tegakan jati maupun kelestarian kayu jati menjadi terganggu.
            Tujuan dari pemodelan ini yaitu membuat sebuah model dinamika sistem yang mengidentifikasi persoalan-persoalan yang menyebabkan kelestarian tegakan jati dan kelestarian produksi kayu terganggu dan upaya untuk menstabilkan kembali agar kelestarian produksi menjadi stabil. Melalui model ini dapat dibuat skenario upaya-upaya untuk mencapai produktivitas kayu jati yang tetap (kelestarian produksi) dengan areal produktif yang berkurang karena terjadi kerusakan. Model dinamika sistem yang dikembangkan dibatasi pada hal-hal yang terkait dengan interaksi antara hutan, masyarakat, dan kebijakan KPH Bojonegoro Perum Perhutani.

3.2 Konseptualisasi Model
            Model konseptual yang dikembangkan seperti gambar dibawah ini. Terdapat dua submodel dalam permodelan ini yaitu faktor-faktor yang menyebabkan luasan areal produktif menjadi menurun dan treatment yang dilakukan untuk mencapai kelestarian produksi (produktivitas tetap). Indikator merupakan cara model dapat dimanfaatkan dan digunakan untuk mengukur dampak dari skenario yang diformulasikan dalam pemodelan.

Gambar 1. Model konseptual dinamika sistem yang dikembangkan

3.3 Spesifikasi Model

Pemodelan dapat dilakukan untuk mencapai kelestarian tegakan dan produksi dalam pengaturan hasil. Pemodelan pengaturan hasil di KPH Bojonegoro untuk mencapai kelestarian tegakan dan kelestarian produksi dengan areal produktif yang menurun dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 2. Hasil pemodelan kelestarian hasil

Gambar 3. Equation dari model pengaturan hasil pada stella

Berdasarkan studi kasus pada penelitian Christina (2009) di KPH Bojonegoro terjadi penurunan luas areal produktif. Hal ini disebabkan oleh tiga faktor utama, yaitu pembalakan, perambahan, dan kurangnya pemeliharaan (state variabel). Oleh karena itu ada beberapa tindakan yang bisa dilakukan, yaitu pengadaan bibit dengan menentukan jumlah kebutuhan bibit dan jarak tanamnya. Selanjutnya dilakukan pengamanan dan penyiapan lahan, sehingga dapat dikembangkan oleh masyarakat. Tindakan ini dilakukan dengan asumsi bahwa hasil tebangan minimal sama atau lebih dari hasil penebangan sebelumnya. Melalui pemodelan, dapat ditentukan riap volume dan riap luas hingga dapat mencapai peningkatan produktivitas. Arus penurunan luasan areal produktif merupakan selisih luas panen sebelumnya dengan pembalakan, perambahan, dan pemeliharaan. Sementara luas panen optimal dicapai menurut jumlah total penurunan luas produktif, alokasi lahan untuk masyarakat, penananaman kelas umur 1 dan pengawasan areal. Produktivitas yang dihasilkan sebesar 540118,93, dimana etat volume diperoleh menurut produktivitas dengan daurnya selama 60 tahun. Alokasi lahan untuk masyarakat sebesar 600 ha. Etat luas diperoleh menurut luas panen optimal dengan daurnya. Harga kayu ditetapkan sebesar Rp.3.000.000/m3 dengan jarak tanam 9 m. Luas panen sebelumnya sebesar 35996,8. Pengadaan bibit sebesar 9.000.000. pembalakan yang terjadi sebesar 15 % dari luas panen sebelumnya. Begitu  pula untuk perambahan. Kelestarian dicapai dengan pertimbangan etat luas dan etat volumenya.

Grafik 1. Hubungan luas areal produktif dengan luas panen optimal

Berdasarkan grafik menunjukkan hubungan korelasi antara arus penurunan luasan areal produktif, luas areal produktif, dan luas panen optimal. Arus penurunan produktif menunjukkan hasil yang lurus atau datar. Hal ini karena arus penurunan produktif dianggap memiliki nilai konstan. Sementara luas areal produktif dan luas panen optimal menghasilkan pertumbuhan dan peningkatan perubahan, yang merupakan umpan balik positif. Hal ini akan membawa keadaan atau stok sesuai dengan tujuan atau keadaan yang diinginkan. Sementara menurut Purnomo (2012) dalam goal seeking juga terdapat umpan balik negative dimana terjadi keseimbangan atau ekuilibrium dan ketidakberubahan (statis). Dalam hal ini terdapat half time, berupa waktu yang dibutuhkan untuk mengoreksi setengah dari perbedaan antara target dan kondisi areal. Dengan dilakukannya beberapa treatment, menghasilkan suatu perubahan.
Pengawasan areal hutan dengan intensif dapat berpengaruh terhadap luas panen optimal karena dapat meminimalisasi terjadinya perambahan maupun pembalakan yang dilakukan oleh masyarakat sehingga luas panen dapat optimal karena tidak terganggu. Begitu juga treatment yang dilakukan seperti penanaman. Penanaman yang dilakuakn tentunya dengan tujuan menambah dan memperbaiki tegakan. Apabila tegakan lestari maka produksinya juga lestari jika dilakukan pengaturan hasil dan manajemen yang tepat.

3.4 Evaluasi Model
            Model pengaturan hasil KPH Bojonegoro untuk mencapai kelestarian tegakan dan kelestarian hasil (produksi) yang dibuat belum sepenuhnya siap untuk menduga kondisi aslinya. Walaupun dengan treatment penanaman yang dilakuakan dengan mengatur jarak tanamnya dan pengadaan bibit, hal ini akan menjadikan stok tumbuhan jati sehingga kelestarian dapat tercapai, tetapi ini tidak sepenuhnya dapat berhasil mengingat permasalahan penurunan areal produktif disebabkan oleh faktor sosial (pembalakan dan perambahan yang dilakukan oleh masyarakat). Treatment memberikan alokasi lahan untuk masyarakat, ini juga menjadi permasalahan tersendiri. Pasalnya mengingat pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat dan luasan lahan yang ada semakin sempit, ini bukan solusi yang mudah untuk diterapkan. Langkanya lahan dan dana untuk mengalokasikan lahan untuk masyarakat agar tidak merambah hutan juga bukan menjadi solusi yang mudah diterapkan mengingat keadaan keuangan di perhutani sendiri. Maka dari itu pemodelan ini belum sepenuhnya siap untuk menduga dengan membandingkan keadaan kenyataannya.

3.5 Penggunaan Model
            Pemodelan pengaturan hasil untuk kelestarian tegakan dan kelestarian produksi dapat diterapkan dan digunakan, apabila masyarakat sendiri sadar bahwa kegiatan pembalakan dan perambahan merupakan kegiatan yang merugikan dan masyarakat berhenti melakuaknnya. Apabila pihak KPH Bojonegoro dapat memberikan alokasi lahan untuk masyarakat untuk kegiatan perkebunan dan lain-lain, maka hal ini akan meminimalisir masyarakat untuk melakukan perambahan sehingga areal hutan produktif tidak berkurang. Pengawasan yang intensif juga tetap perlu dilakukan dan penanaman serta pemeliharaan tegakan perlu dilakukan sehingga kelestarian tegakan akan tercapai begitu pula kelestarian produksi kayu jatinya.



BAB IV
PENUTUP
4.1 Simpulan
            Sistem pemodelan sebagai penyederhanaan hubungan antar komponen biofisik dapat digunakan pada bidang kehutanan (kelestarian produksi) yang diformulasikan sebagai keadaan masa depan (the future state) tergantung dari keadaan sekarang (the current state) dan faktor lainnya.  Kegunaan model sebagai alat prediksi terletak pada ketepatan dan ketelitian hasil prediksinya serta input riil yang dapat dimasukkan dalam fungsi numeric pada model . kelestarian produksi hutan jati KPH Bojonegoro Perum Perhutani Unit II Jawa Timur dapat terpantau melalui sistem pemodelan, sehingga dapat diambil kebijakan dalam mengantisipasi permasalahan yang terjadi. Terutama pada permasalahan sosial yang terjadi membutuhkan perencanaan solusi yang komprehensif.

4.2 Saran
Berdasarkan analisis masalah yang kami temukan pada pembuatan paper, ada beberapa saran dari tim penyusun sebagai masukan meliputi :
1.      Sebaiknya model diterapkan untuk mengatasi masalah dengan data yang riil
2.      Melakukan penelitian lebih lanjut pada kasus sosial, sehingga meningkatkan akurasi model terutama pada output















DAFTAR PUSTAKA
Purnomo H. 2012. Pemodelan dan Simulasi untuk Pengelolaan Adaptif Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Bogor (ID) : IPB Press.
Tim Dosen 2003. Simulasi dan Pemodelan. Depok (ID) : Universitas Gunadharma.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar