PAPER BIOMETRIKA HUTAN
MODEL KAJIAN PENINGKATAN LUAS
PRODUKTIF HUTAN JATI DI KPH BOJONEGORO PERUM PERHUTANI UNIT II JAWA TIMUR
Disusun Oleh :
Kelompok 2
(Praktikum Biometrika Hutan Kamis 07.00-10.00)
Maha Suka Sudharmo E14130031
Linda Karisma E14130032
Widya Rachmadani Pradana E14130034
Nur Lailatul Khasanah E14130035
Gilang Raihan Eka Ditri E14130037
Alvita Rosa E14130040
Muhammad Naek E14130041
Nitya Ade Santi E14130044
Khoirum Minan E14130045
Anisa Pamungki E14130046
Dosen Pengampu :
Dr. Ir.
Budi Kuncahyo, MS
DEPARTEMEN
MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS
KEHUTANAN
INSTITUT
PERTANIAN BOGOR
![Description: C:\Users\gilang Raihan\AppData\Local\Microsoft\Windows\INetCache\Content.Word\logo-ipb (1).png](file:///C:/Users/USER1~1/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image004.gif)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hutan
yang ada di Indonesia menyimpan berbagai kekayaan alam dan merupakan ekosistem
yang kompleks. Salah satu sumberdaya hutan yang banyak dimanfaatkan adalah kayu.
Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya
alam hayati yang didominasi pepohonan dan persekutuan alam lingkungan. Hutan
sebagai kekayaan alam harus dikelola secara lestari. Pengelolaan hutan lestari
perlu dilaksanakan agar perubahan hutan yang terjadi secara terus menerus dapat
berlangsung tanpa mengurangi nilai kelestariannya. Pengelolaan hutan secara
lestari dengan mewujudkan asas kelestarian, baik itu kelestarian hasil hutan
maupun kelestarian perusahaan. Hutan tanaman jati di Jawa dikelola oleh Perum
Perhutani dengan tujuan untuk mencapai pengelolaan hutan yang lestari.
Kondisi
sebaran kelas hutan produktif saat ini di sebagian besar kawasan KPH lingkup
Perum Perhutani sudah tidak normal, karena didominasi oleh kelas hutan umur
muda. Salah satu penyebabnya adalah dampak dari penjarahan yang terjadi sekitar
tahun 1997–2000. Luas kelas umur KU I – KU IV sebesar 500.605,08 ha (91,8%),
sedangkan KU V keatas (termasuk MT dan MR) hanya 44.223,97 ha(8,1%). Untuk
mengantisipasi kebutuhan kayu yang terus meningkat sejalan dengan pertambahan
penduduk dan untuk meningkatkan pendapatan, sedangkan kualitas lahan tempat
tumbuhnya semakin menurun, tindakan intensifikasi pengelolaan hutan jati sangat
diperlukan untuk meningkatkan produktivitas dan kualitasnya.
1.2
Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada paper ini
adalah mengenai luas produktif hutan
jati di KPH Bojonegoro Perum Perhutani Unit II Jawa Timur.
1.3
Tujuan
Tujuan
dari paper ini yaitu mengkaji tentang peningkatan luas produktif hutan jati di
KPH Bojonegoro Perum Perhutani Unit II Jawa Timur.
1.4
Manfaat
Manfaat
yang diharapkan adalah sebagai berikut :
1.
Model simulasi pengelolaan hutan ini diharapkan dapat membantu dan memberikan
masukan dalam Unit II Jawa Timur.
2.
Memberikan informasi mengenai pengelolaan hutan ini diharapkan dapat membantu
dan memberikan masukan dalam peningkatan
luas produktif hutan jati di KPH
Bojonegoro Perum Perhutani Unit II Jawa Timur.
1.5
Tinjauan Pustaka
Pemodelan sistem berawal dari
bagaimana kita mencoba memahami dunia nyata ini dan menuangkannya menjadi
sebuah model dengan beragam metode yang ada. Tidak ada model yang benar dan
salah. Model dinilai dari sejauh mana dia dapat berguna. Sehingga langkah
pertama dalam pemodelan adalah menentukan tujuan dari pemodelan tersebut. Model
dapat dibuat untuk memprediksi sebuah komponen dalam model setelah jangka waktu
tertentu. Kegunaan model sebagai alat prediksi terletak pada ketepatan dan
ketelitian hasil prediksinya. Model juga dapat dipakai sebagai wahana untuk
belajar paran pihak yang ingin memahami struktur dan perilaku dari sumberdaya
alam.
Kegunaan model sebagai sarana
belajar terletak pada bagaimana proses belajar terjadi secara efektif dengan memanfaatkan
model yang dibuat. Pemodelan sistem merupakan sebuah ilmu pengetahuan dan seni.
Sebuah ilmu pengetahuan karena ada logika yang jelas ingin dibangunnya dengan
urutan yang sesuai. Sebuah seni, karena pemodelan mencakup bagaimana menuangkan
persepsi manusia atasdunia nyata dengan segala keunikannya.
Tahapan pemodelan telah dikemukakan
dalam banyak literatur seperti pada Grant et al., (1997) dan Sterman (2000).
Kami menyarankan pemodelan sistem dilakukan dengan fase-fase sebagai berikut:
a. Identifikasi isu atau masalah,
tujuan dan batasan;
b. Konseptualisasi model dengan
menggunakan ragam metode seperti diagram kotak dan panah, diagram sebab-akibat,
diagram stok dan flow atau diagram sekuens;
c. Formulasi model, merumuskan makna
diagram, kuantifikasi dan atau kualifikasi komponen model jika perlu;
d. Evaluasi model, mengamati
kelogisan model dan membandingkan dengan dunia nyata atau model andal yang
serupa jika ada;
e. Penggunaan model, membuat
skenario-skenario ke depan atau alternatif kebijakan, mengevaluasi ragam
skenario atau kebijakan tersebut dan pengembangan perencanaan dan agenda
bersama.
Hutan Tanaman Industri (HTI)
Sejarah pembangunan hutan di
Indonesia, khususnya hutan tanaman telah berlangsung sejak era sebelum memasuki
era kemerdekaan. Berbagai kebijakan ditetapkan sebagai landasan hukum kegiatan
pembangunan hutan tanaman. Pada dekade 1990, seiring dengan adanya Peraturan
Pemerintah No. 7 tahun 1990, maka dimulai pembangunan hutan tanaman yang
dilakukan secara terintegrasi dengan industri kehutanan. Program Hutan Tanaman
Industri ini diharapkan dapat meningkatkan produktivitas dan kualitas lahan,
menjamin ketersediaan bahan baku kayu bagi kepentingan industri serta
penyerapan tenaga kerja dan lapangan berusaha (Iskandar dkk., 2003).
Menurut Peraturan Menteri Kehutanan
No. 3 tahun 2008, HTI adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun
oleh pelaku usaha kehutanan untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan
produksi dengan menerapkan silvikultur intensif dalam rangka memenuhi kebutuhan
bahan baku industri hasil hutan. Hak Pengusahaan HTI adalah hak untuk
mengusahakan hutan di dalam suatu kawasan hutan yang kegiatannya mulai dari
penanaman, pemeliharaan, pemungutan, pengelolaan dan pemasaran.
Adapun tujuan pembangunan HTI
menurut Direktorat Bina Pengembangan Hutan Tanaman (2009) adalah sebagai
berikut :
1. Meningkatkan produktivitas hutan
produksi, dalam rangka pemenuhan kebutuhan bahan baku industri perkayuan dan
penyediaan lapangan usaha (pertumbuhan ekonomi/pro-growth), penyediaan lapangan
kerja (pro-job), pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar hutan (pro-poor) dan
perbaikan kualitas lingkungan hidup (pro-enviroment).
2. Mendorong daya saing produk
industri perkayuan (penggergajian, kayu lapis, pulp dan paper, meubel dan
lain-lain) untuk kebutuhan dalam negeri dan ekspor.
Selain itu, HTI juga dikelola dan
diusahakan berdasarkan prinsip pemanfaatan yang optimal dengan memperhatikan
aspek kelestarian lingkungan dan sumber daya alamiah serta dengan menerapkan
prinsip ekonomi dalam pengusahaannya untuk memperoleh manfaat yang
sebesar-besarnya. Pengelolaan satu kesatuan HTI yang disebut unit HTI merupakan
unit pengusahaan yang terdiri dari satu atau lebih kelas perusahaan. Menurut
Dephut (1996), kelas perusahaan pada pengusahaan HTI ada empat, yaitu:
1. Kelas perusahaan kayu pertukangan
2. Kelas perusahaan kayu serat
3. Kelas perusahaan kayu energi
4. Kelas perusahaan kayu perusahaan
hasil hutan bukan kayu
Menurut Direktorat Bina Pengembangan
Hutan Tanaman (2009), setiap unit pengusahaan pada HTI telah diatur tata
penggunaan lahannya/tata ruangnya sebagai berikut :
a. Areal Tanaman Pokok ± 70 %
b. Areal Tanaman Unggulan ± 10 %
c. Areal Tanaman Kehidupan ± 5 %
d. Kawasan Lindung ± 10 %
e. Sarana Prasarana ± 5 %
Adapun beberapa ciri pokok HTI, di
antaranya adalah:
1. Sistem silvikultur yang
diterapkan adalah tebang habis dengan penanaman kembali.
2. Komposisi jenisnya murni atau
campuran.
3. Potensi produksi yang tinggi,
baik kuantitas maupun kualitasnya, yang dicapai dengan penerapan silvikultur
intensif.
4. Pengusahaan HTI adalah
pengusahaan hutan dalam suatu kawasan hutan yang meliputi kegiatan penanaman,
pemeliharaan tegakan, pemungutan hasil, pengolahan sampai pemasarannya
BAB II
METODE
2.1 Waktu dan Tempat
Kegiatan praktikum Biometrika Hutan
dilaksanakan di RK X301, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Praktikum dilaksanakan setiap hari Kamis pada pukul 07.00 sampai dengan pukul
10.00 WIB.
2.2 Alat dan Bahan
Alat
yang digunakan pada praktikum ini adalah seperangkat laptop, alat tulis, dan
internet. Sedangkan bahan yang digunakan adalah skripsi yang ditulis oleh
Christina Basariadengan judul “Kajian
Kelestarian Tegakan dan Produksi Kayu Jati Jangka Panjang KPH Bojonegoro Perum Perhutani Unit II Jawa Timur”.
2.3 Metode Pengumpulan Data
Data
yang dikumpulkan berupa data sekunder yaitu data luas produktif hutan jati di KPH
Bojonegoro Perum Perhutani Unit II Jawa Timur.
2.4 Prosedur Analisis Data
Data
yang telah diperoleh dikelompokkan menjadi beberapa kategori komponen sistem
antara lain :
1.
State Variable (Stok)
State variable
menyatakan titik akumulasi dari materi dalam sebuah sistem.
2.
Auxiliary Variable (Peubah Pembantu)
Auxiliary variable
adalah peubah yang memengaruhi dan dipengaruhi oleh model.
3.
Constant (Konstanta)
Constant
adalah nilai numerik yang menyatakan sebuah karakteristik yang tidak berubah
atau dianggap tidak berubah dalam berbagai kondisi selama waktu simulasi.
4.
Driving Variable (Peubah Penggerak)
Driving variable
adalah peubah yang memengaruhi model tetapi tidak dipengaruhi oleh model.
5.
Information and Material Transfer
Transfer
informasi menyatakan transfer nilai dari suatu peubah ke peubah lainnya yang
disimbolkan dengan garis tunggal dengan ujung anak panah yang menjelaskan
darimana dan kemana transfer nilai itu dilakukan. Sedangkan transfer materi
menunjukkan transfer fisik atau materi pada periode waktu tertentu.
6.
Source and Sink Source and Sink atau
sumber dan buangan menyatakan titik awal dan tujuan atau buangan dari transfer
materi (Purnomo 2012).
Menurut
Purnomo (2012) pembuatan model sistem terdiri dari beberapa tahapan sebagai
berikut:
1. Identifikasi
isu, tujuan dan batasan
Melakukan identifikasi isu bermanfaat
untuk mengetahui dimana pemodelan perlu dilakukan. Kemudian menentukan tujuan
pembuatan model dan batasan model yang dapat berupa batas ruang, waktu atau
batasan isu.
2.
Konseptualisasi model
Tujuan tahap ini untuk menetapkan konsep
dan tujuan model yang akan dibuat. Penyusunan model dilakukan dengan mengaitkan
segala komponen yang ada untuk dimasukkan ke dalam model simulasi untuk dapat
mendekati kondisi yang sebenarnya di lapangan.
3.
Spesifikasi model
Tujuan dari tahap ini adalah untuk
membuat model kuantitatif dari sistem yang diinginkan. Tahapan yang harus
dilakukan yaitu pemilihan struktur model, penentuan basic time unit,
identifikasi hubungan fungsional persamaan model, dan menjalankan simulasi
model.
4.
Evaluasi model
Evaluasi model dilakukan dengan menguji
kelogisan model yang dibuat dengan dunia nyata.
5.
Penggunaan model
Menggunakan model yang telah dibuat
untuk mencapai tujuan yang diidentifikasikan di awal pembangunan model
tersebut.
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sistem merupakan sekumpulan objek yang dihubungkan satu sama lain dalam
sebuah objek melalui beberapa interaksi regular secara bebas untuk mencapai
tujuan tertentu. Sistem dipengaruhi oleh perubahan yang terjadi diluar sistem. Cara mempelajari sistem adalah dengan
menjalankan objek secara numeric dengan memberi input dan melihat pengaruhnya
terhadap output (Tim Dosen 2003). Dinamika sistem atau system dynamics mulai dikenal pada tahun 1960-an melalui kerja Jay
W. Forester dan koleganya dari Sloan School of Management di Massachusetts Institute of Technology (MIT), Amerika
Serikat. Pengembangan ini merupakan ide-ide penerapan konsep teori kontrol umpan balik terhadap sistem industri.
Dinamika sistem merupakan studi perubahan sistem menurut waktu dengan
memerhatikan faktor umpan balik. Dinamika
sistem digunakan untuk masalah biofisik yang diformulasikan sebagai keadaan
masa depan (the future state)
tergantung dari keadaan sekarang (the
current state) dan factor lainnya.
Persamaan didalamnya direpresentasikan sebagai stock dan aliran (flow)
materi atau informasi dalam pemodelan dinamika sistem. Stok menyatakan titik akumulasi dari materi
dalam sebuah sistem. Stok adalah peubah yang pertama kali biasa dibuat dalam
pemodelan, sebelum penambahan peubah lainnya (Purnomo 2012).
Pembuatan dinamika sistem bisa menggunakan perangkat lunak komputer pendukung,
dimana menggunakan bahasa programmer
computer. Salah satunya adalah menggunakan software stella. Stella awalnya
diperkenalkan untuk Macintosh pada tahun 1984. Stella menyediakan fitur
berbasis grafis untuk mengembangkan model dinamika system. Diagram aliran dan
stok dapat dibuat dengan mudah. Sedangkan persamaan matematika ditulis pada
dialog-dialog yang diakses dari diagram stok dan aliran (Purnomo 2012).
3.1
Identifikasi isu, tujuan,dan batasan
Isu yang diangkat dalam
pemodelan ini adalah kelestarian
hasil dan produksi kayu jati di KPH Bojonegoro Perum Perhutani Unit II Jawa
Timur. KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan) Bojonegoro tergolong ke dalam kelas
perusahaan jati berdasarkan jenis kayu dan ditetapkan sebagai kelas perusahaan
tebang habis berdasarkan bentuk tebangan. Luas KPH Bojonegoro yaitu 50145.4 ha
memiliki umur daur 60 tahun dan umur tebang minimum (UTM) 50 tahun. Berdasarkan
struktur kelas hutan dari tahun 1975
sampai 2007 terjadi kerusakan kelas
hutan KPH Bojonegoro sehingga areal produktifnya menjadi berkurang. Hal ini
menyebabkan kelestarian tegakan jati maupun kelestarian kayu jati menjadi
terganggu.
Tujuan
dari pemodelan ini yaitu membuat sebuah model dinamika sistem yang
mengidentifikasi persoalan-persoalan yang menyebabkan kelestarian tegakan jati
dan kelestarian produksi kayu terganggu dan upaya untuk menstabilkan kembali
agar kelestarian produksi menjadi stabil. Melalui model ini dapat dibuat
skenario upaya-upaya untuk mencapai produktivitas kayu jati yang tetap
(kelestarian produksi) dengan areal produktif yang berkurang karena terjadi
kerusakan. Model dinamika sistem yang dikembangkan dibatasi pada hal-hal yang
terkait dengan interaksi antara hutan, masyarakat, dan kebijakan KPH Bojonegoro
Perum Perhutani.
3.2
Konseptualisasi Model
Model konseptual yang dikembangkan seperti gambar dibawah ini. Terdapat
dua submodel dalam permodelan ini yaitu faktor-faktor yang menyebabkan luasan
areal produktif menjadi menurun dan treatment
yang dilakukan untuk mencapai kelestarian produksi (produktivitas tetap).
Indikator merupakan cara model dapat dimanfaatkan dan digunakan untuk mengukur
dampak dari skenario yang diformulasikan dalam pemodelan.
Gambar 1. Model konseptual dinamika sistem yang dikembangkan
3.3 Spesifikasi
Model
Pemodelan dapat dilakukan
untuk mencapai kelestarian tegakan dan produksi dalam pengaturan hasil. Pemodelan pengaturan hasil di KPH Bojonegoro
untuk mencapai kelestarian tegakan dan kelestarian produksi dengan areal
produktif yang menurun dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 2. Hasil pemodelan kelestarian
hasil
Gambar 3. Equation dari model
pengaturan hasil pada stella
Berdasarkan studi kasus pada penelitian Christina (2009) di KPH Bojonegoro terjadi penurunan luas areal
produktif. Hal ini disebabkan oleh tiga faktor utama, yaitu pembalakan,
perambahan, dan kurangnya pemeliharaan (state variabel). Oleh karena itu ada beberapa tindakan yang bisa
dilakukan, yaitu pengadaan bibit dengan menentukan jumlah kebutuhan bibit dan
jarak tanamnya. Selanjutnya dilakukan pengamanan dan penyiapan lahan, sehingga
dapat dikembangkan oleh masyarakat. Tindakan ini dilakukan dengan asumsi bahwa
hasil tebangan minimal sama atau lebih dari hasil penebangan sebelumnya.
Melalui pemodelan, dapat ditentukan riap volume dan riap luas hingga dapat
mencapai peningkatan produktivitas. Arus penurunan luasan areal produktif
merupakan selisih luas panen sebelumnya dengan pembalakan, perambahan, dan
pemeliharaan. Sementara luas panen optimal dicapai menurut jumlah total
penurunan luas produktif, alokasi lahan untuk masyarakat, penananaman kelas
umur 1 dan pengawasan areal. Produktivitas yang dihasilkan sebesar 540118,93,
dimana etat volume diperoleh menurut produktivitas dengan daurnya selama 60
tahun. Alokasi lahan untuk masyarakat sebesar 600 ha. Etat luas diperoleh
menurut luas panen optimal dengan daurnya. Harga kayu ditetapkan sebesar Rp.3.000.000/m3 dengan jarak tanam 9 m. Luas panen sebelumnya
sebesar 35996,8. Pengadaan bibit sebesar 9.000.000. pembalakan yang terjadi
sebesar 15 % dari luas panen sebelumnya. Begitu
pula untuk perambahan. Kelestarian dicapai dengan pertimbangan etat luas
dan etat volumenya.
Grafik
1. Hubungan luas areal produktif dengan luas panen optimal
Berdasarkan grafik menunjukkan
hubungan korelasi antara arus penurunan luasan areal produktif, luas areal
produktif, dan luas panen optimal. Arus penurunan produktif menunjukkan hasil
yang lurus atau datar. Hal ini karena arus penurunan produktif dianggap
memiliki nilai konstan. Sementara luas areal produktif dan luas panen optimal
menghasilkan pertumbuhan dan peningkatan perubahan, yang merupakan umpan balik
positif. Hal ini akan membawa keadaan atau stok sesuai dengan tujuan atau
keadaan yang diinginkan. Sementara menurut Purnomo (2012) dalam goal seeking juga terdapat umpan balik
negative dimana terjadi keseimbangan atau ekuilibrium dan ketidakberubahan (statis). Dalam hal ini terdapat half
time, berupa waktu yang dibutuhkan untuk mengoreksi setengah dari perbedaan
antara target dan kondisi areal. Dengan dilakukannya beberapa treatment,
menghasilkan suatu perubahan.
Pengawasan areal hutan dengan intensif dapat
berpengaruh terhadap luas panen optimal karena dapat meminimalisasi terjadinya
perambahan maupun pembalakan yang dilakukan oleh masyarakat sehingga luas panen
dapat optimal karena tidak terganggu. Begitu juga treatment yang dilakukan seperti penanaman. Penanaman yang
dilakuakn tentunya dengan tujuan menambah dan memperbaiki tegakan. Apabila
tegakan lestari maka produksinya juga lestari jika dilakukan pengaturan hasil
dan manajemen yang tepat.
3.4
Evaluasi Model
Model pengaturan hasil KPH Bojonegoro untuk mencapai
kelestarian tegakan dan kelestarian hasil (produksi) yang dibuat belum sepenuhnya siap untuk menduga
kondisi aslinya. Walaupun
dengan treatment penanaman yang
dilakuakan dengan mengatur jarak tanamnya dan pengadaan bibit, hal ini akan
menjadikan stok tumbuhan jati sehingga kelestarian dapat tercapai, tetapi ini
tidak sepenuhnya dapat berhasil mengingat permasalahan penurunan areal
produktif disebabkan oleh faktor sosial (pembalakan dan perambahan yang dilakukan
oleh masyarakat). Treatment
memberikan alokasi lahan untuk masyarakat, ini juga menjadi permasalahan
tersendiri. Pasalnya mengingat pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat dan
luasan lahan yang ada semakin sempit, ini bukan solusi yang mudah untuk
diterapkan. Langkanya lahan dan dana untuk mengalokasikan lahan untuk
masyarakat agar tidak merambah hutan juga bukan menjadi solusi yang mudah
diterapkan mengingat keadaan keuangan di perhutani sendiri. Maka dari itu
pemodelan ini belum sepenuhnya siap untuk menduga dengan membandingkan keadaan
kenyataannya.
3.5
Penggunaan Model
Pemodelan pengaturan hasil untuk kelestarian tegakan dan
kelestarian produksi dapat diterapkan dan digunakan, apabila masyarakat sendiri
sadar bahwa kegiatan pembalakan dan perambahan merupakan kegiatan yang
merugikan dan masyarakat berhenti melakuaknnya. Apabila pihak KPH Bojonegoro
dapat memberikan alokasi lahan untuk masyarakat untuk kegiatan perkebunan dan
lain-lain, maka hal ini akan meminimalisir masyarakat untuk melakukan
perambahan sehingga areal hutan produktif tidak berkurang. Pengawasan yang
intensif juga tetap perlu dilakukan dan penanaman serta pemeliharaan tegakan
perlu dilakukan sehingga kelestarian tegakan akan tercapai begitu pula
kelestarian produksi kayu jatinya.
BAB
IV
PENUTUP
4.1 Simpulan
Sistem pemodelan
sebagai penyederhanaan hubungan antar komponen biofisik dapat digunakan pada bidang
kehutanan (kelestarian produksi) yang diformulasikan sebagai keadaan masa depan
(the future state) tergantung dari
keadaan sekarang (the current state)
dan faktor lainnya. Kegunaan model sebagai alat prediksi terletak pada ketepatan
dan ketelitian hasil prediksinya serta input riil yang dapat dimasukkan dalam
fungsi numeric pada model . kelestarian produksi hutan jati KPH Bojonegoro Perum Perhutani Unit II Jawa Timur
dapat terpantau melalui sistem pemodelan, sehingga dapat diambil kebijakan
dalam mengantisipasi permasalahan yang terjadi. Terutama pada permasalahan
sosial yang terjadi membutuhkan perencanaan solusi yang komprehensif.
4.2 Saran
Berdasarkan
analisis masalah yang kami temukan pada pembuatan paper, ada beberapa saran
dari tim penyusun sebagai masukan meliputi :
1.
Sebaiknya model diterapkan untuk mengatasi
masalah dengan data yang riil
2.
Melakukan penelitian lebih lanjut pada
kasus sosial, sehingga meningkatkan akurasi model terutama pada output
DAFTAR PUSTAKA
Purnomo H. 2012.
Pemodelan dan Simulasi untuk Pengelolaan
Adaptif Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Bogor (ID) : IPB Press.
Tim Dosen 2003. Simulasi dan Pemodelan. Depok (ID) :
Universitas Gunadharma.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar